Selamat Hari Kartini Wahai Wanita Indonesia.
Dalam postingan kali ini saya tidak akan membahas sejarah Kartini. Karena sejarah ini bisa kita lihat hanya dengan sekali klik "sejarah kartini" dimesin pencari. Namun saya ingin meneladani semangat Kartini. Semangat untuk terus berdaya di tengah ketidakberdayaan. Kartini yang ditentang sekolah oleh orangtuanya nyatanya malah mampu menjalin koneksi dengan teman-teman Belandanya dan aktif saling mengirim surat. Hasil surat-surat inilah kemudian buah pemikirannya bisa dibaca oleh wanita seluruh dunia.
Walau Di rumah, Kartini Tetap Berkarya.
Semangat Kartini untuk menuntut ilmu dan keinginannya untuk memajukan wanita patut di tiru. Nampaknya saat ini cita-cita Kartini sudah berhasil di sebagian besar wilayah Indonesia. Tidak sedikit wanita yang sampai mengenyam pendidikan menjadi Sarjana, Magister dan Doktor.
Tapi jauh dari gelar itu semua apakah gelar yang paling tertinggi dan hampir setiap wanita menginginkan gelar ini ? Yakni IRT alias Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga berperan penting dalam menjalankan pendidikan dalam keluarga. Maka bagi saya, kecerdasan dan gelar keilmuan yang diperoleh seorang wanita akan berperan penting dalam menunjang profesinya menjadi IRT. Seorang Ibu yang cerdas, hampir dipastikan melahirkan anak yang cerdas pula.
Profesi IRT saat ini tidak bisa dipandang sepele atau direndahkan keberadaannya. Walau profesi ini tidak memiliki seragam kebangsaan atau standar gaji namun tidak ada yang mampu menandingi tulusnya hati seorang Ibu dalam menjalankan peran IRT.
Semakin berkembangnya teknologi, meningkatnya kesadaran dalam pendidikan. Lahirlah wanita-wanita bergelar tinggi namun menjatuhkan diri pada profesi IRT. Wanita-wanita ini sadar, pendidikan anak dari dalam rumah tidak bisa dianggap enteng. Anak layak di didik oleh para sarjana bahkan doktor dalam kesehariannya. Terus menurunnya moral generasi muda, gempuran 3 F (Fashion, Food dan Film) rentan menjatuhkan anak pada penyakit WAHN alias cinta dunia takut mati atau bahasa terkininya Hedonisme.
Dari banyak menurunnya kasus moral generasi muda usia sekolah, membuat saya berani menyebutkan bahwa kita berada pada darurat IRT. Maksud saya darurat pada kebutuhan profesi IRT dalam setiap rumah. Jika tidak setuju dengan tulisan saya ini, sah saja ya. Ini pola pikir saya. Toh banyak juga working mom yang sukses mendidik anaknya menjadi beradab.
IRT yang saya maksud adalah, mereka yang berani menanggalkan segala kenyamanan kantor tempat ia berada dan kembali kerumah demi buah hati. Jika masalahnya adalah uang, nampaknya alasan ini bisa ditampik oleh sebagian IRT. Lihatlah, saat ini banyak berkembang IRT yang mampu meraup rezeki walau tak harus berada dibalik meja kantor. Muncul istilah momprenuer, IRT yang memiliki usaha.
Dalam istilah IIP (Institut Ibu Profesional) Ibu Septi (Founder IIP) mengatakan "Rezeki itu Pasti, Kemuliaan yang harus di cari" jadi berusaha dengan cara baik atau buruk rezeki kita sudah dijatah oleh Alloh SWT. Karena rezeki itu suatu kepastian, tak akan maut menjemput jika ada rezeki kita yang masih tertahan di bumi. Kesadaran ini mungkin harus diyakini oleh working mom yang belum berani memilih profesi IRT karena keterbatasan rezeki. Namun bagi mereka yang beralasan menjadi working mom karena ingin terus berkarya, nampaknya alasan ini harus dikaji ulang. Justru IRT kadang malah melahirkan pemikiran kreatif, karya-karya yang saat masih bekerja mustahil untuk dilaksanakan.
Saya tidak menampik kebutuhan wanita akan dokter wanita, polisi wanita, dosen ataupun guru wanita. Tetap sebagian profesi kita hanya ingin dilayani oleh wanita. Jadi jangan katakan saya meniadakan peran working mom dalam dunia pendidikan anak. Tidak juga saya meminta diakui keberadaan IRT, karena bagi saya keberadaan saya cukup diakui dan disukai oleh suami saya. Dan itu cukup, saya tidak butuh pengakuan orang lain. hehehe
Ibu sebagai Guru Pertama Bagi Anak
Pernah mendengar istilah "Ibu adalah Madrasah bagi anaknya ?" Nah, saat kita berperan menjadi IRT maka peluang ini besar kita laksanakan. Kitalah yang mampu mengenalkan segala dasar pendidikan. Kita mampu mengenali karakter anak lebih lekat saat meluangkan waktu lebih lama dengan anak. Kita mampu menggali potensi dan melejitkan potensi anak. Kita yang berpeluang besar dalam meraup amal jariyah dengan cara menjadi guru bagi anak. Jika diserahkan pada pihak ketiga, maka kita kemungkinan hanya mendapat lelah. Guru sekolah, guru mengajilah yang kemudian menuai pahala atas ilmu yang dimanfaatkan anak kita.
Akhirnya,
saya hanya berharap agar tulisan ini tidak menjadi mom war alias perang Ibu.
Jangan merasa berkecil hati working mom, segera temui anak dan katakan "Ibu akan berada lebih lama bermain denganmu"
Kita sama-sama berjuang ya mak !
yang menulis tidak jauh lebih baik dari yang membaca :)
0 comments:
Post a Comment